Ahmad bin al-Hiwari menuntut ilmu (Hadis) selama 30 tahun. Ketika sudah mencapai puncaknya, ia membawa kitab-kitabnya ke laut, lalu ia tenggelamkan kitab-kitabnya itu. Ia berkata, “Wahai ilmu, aku tidak bermaksud menghina dan meremehkanmu. Aku mencarimu agar aku memperoleh hidayah yang dapat mengantarkanku kepada Tuhanku. Kini, aku telah memperolehnya dan aku tidak lagi butuh kepadamu”.
Cerita ini dikutip oleh Ibnul Jauzi (w.597 H.) dalam Talbîsu Iblîs-nya. Ia mengkritik doktrin segelintir sufi yang lebih suka beribadah daripada menuntut dan mempelajari ilmu. Menurutnya, kecenderungan sufi semacam ini, adalah akibat tipu daya setan. Ilmu adalah cahaya, dan setan berusaha bagaimana sekiranya manusia dijauhkan dari cahaya, sehingga dia tersesat.
Menurut Ibnul Jauzi, ada empat kelompok sufi dalam menyikapi hal ini. Pertama, sekelompok sufi yang tidak mau menuntut ilmu sama sekali. Mereka selalu menyepi dan beribadah terus menerus. Kedua, sufi yang mau menuntut sedikit ilmu, mereka tidak mau lama-lama menuntut ilmu. Alasan mereka, terlalu banyak menuntut ilmu, bisa berakibat cinta pangkat dan kedudukan. Mereka tidak ingin seperti itu. Ketiga, sama seperti yang kedua, tapi alasannya berbeda. Kelompok ketiga ini lebih mementingkan amal. Karena, menurut mereka, nilai seorang alim dilihat dari amaliahnya, bukan banyak dan tidaknya ilmu. Dan keempat, kelompok sufi yang lebih suka ilmu batin dari pada ilmu zahir.
Cerita al-Hiwari di atas oleh Ibnul Jauzi dianggap sebagai suatu kecerobohan. Bagaimana tidak, padahal Rasulullah memerintahkan para Sahabat agar mencatat Hadis-hadis yang disampaikan oleh beliau, “Ikatlah ilmu!” sabda Nabi. Lalu Abdullah bin Umar bertanya, “Dengan apa mengikatnya?”. Beliau menjawab, “Dengan mencatat”. Apa yang dilakukan al-Hiwari, menurut Ibnul Jauzi, adalah akibat tipu daya Iblis.
Lebih lanjut, Ibnul Jauzi menjelaskan, keengganan sekelompok sufi untuk menuntut ilmu, disebabkan mereka malas dan dianggap membuang-buang waktu. Mereka lebih senang menyepi dan terus-menerus beribadah. Kengganan mereka juga timbul karena mereka ingin mendapatkan ilmu batin, makanya mereka meninggalkan ilmu zahir. Mereka beranggapan bahwa ilmu mereka didapat langsung dari Allah, mereka merasa tidak memerlukan usaha belajar. Yang dikerjakan mereka adalah ibadah dan riyâdah (tirakat) dan berusaha membersihkan hati dari sifat-sifat tercela.
Kecenderungan sufi yang lebih suka beribadah dan meninggalkan menuntut ilmu adalah kesalahan fatal. Sebab, yang pasti untuk bisa melakukan ibadah yang benar dan sesuai dengan syariat, membutuhkan ilmu. Hal ini tidak perlu disangsikan lagi, beribadah tanpa ilmu, maka ibadahnya ditolak, demikian kata Ibnu Ruslan dalam Zubad-nya.
Ibnul Jauzi tidak setuju dikotomisasi ini. Menurutnya, syariat adalah semuanya hakikat, tidak ada zahir dan tidak ada batin. Tentang cerita Nabi Musa dan Nabi Khidir--yang oleh para sufi dijadikan hujah adanya dikotomi ini-- oleh Ibnu al-Jauzi dibantah dengan argumen bahwa Nabi Khidir adalah seorang nabi yang tingkah laku dan ucapannya adalah wahyu dari Allah. Sedangkan ilmu batin yang diistilahkan dengan ilham adalah buah ilmu. Maka, jika tidak ada usaha menuntut ilmu, bagaimana mungkin bisa berbuah. Lagi pula, tanpa ilmu, sangat sulit membedakan antara ilham dari Allah atau bisikan dari setan.
Namun demikian, Ibnul Jauzi tidak menampik adanya efek positif ibadah dan riyâdhah yang dilakukan sufi. Salah satu media untuk membersihkan hati adalah ibadah dan riyâdhah. Ketika hati menjadi bersih maka cahaya hidayah Allah akan tertancap ke dalam hati. Akan tetapi, lanjut Ibnul Jauzi, tidak ada pertentangan antara beribadah dan usaha belajar. Justru dengan belajar, ilmu yang didapatkan akan membantu bagaimana cara ibadah dan riyadhah yang benar.
***
Sejatinya, memang tidak ada perbedaan antara zahir dan hakikat, keduanya adalah sama-sama dibutuhkan. Zahir yang diwakili oleh fikih dan batin yang diwakili oleh tasawuf, keduanya tidak bisa dipisahkan. Kiranya tepat apa yang di-dawuh-kan Imam Malik: “Barang siapa yang menggunakan fikih tanpa tasawuf, maka menjadi fasiq. Barangsiapa bertasawuf tanpa menggunakan fikih, maka menjadi zindiq”. Tentang hal ini kita (Ahlussunnah) sudah sepakat.
Akan tetapi, yang perlu ditegaskan adalah proses untuk mencapai keduanya (zahir dan hakikat) adalah tidak sama. Fikih sebagai ilmu zahir dicapai dengan mengaji kepada guru-guru fikih yang sudah mumpuni dalam bidangnya dan juga dengan menelaah kitab-kitab fikih. Sedangkan tasawuf memerlukan mujâhadah, riyâdhah dan lainnya.
Namun, sekali lagi, ber-mujâhadah dan riyâdhah ada ilmunya.
***
Ilmu merupakan asas pokok dalam segala hal. Tanpa ilmu, tidak akan bisa dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Terkadang kita mengira sedang melakukan perbuatan baik, namun sebenarnya kita melakukan perbuatan buruk, disebabkan kita tidak tahu ilmunya. Maka, menjadi jelaslah antara keutamaan seorang yang berilmu dan yang tidak, sebagaimana banyak dijelaskan di al-Qur’an, Hadis dan pernyataan para ulama.
Hanya saja, keutamaan ilmu dan orang yang berilmu bisa terwujudkan, apabila diiringi dengan amaliah yang sesuai dengan ilmu yang didapatkannya. Ilmu dan ibadah adalah ibarat dua mata uang. Mencari ilmu ya untuk ibadah, ibadah ya dengan ilmu.
Banyak di antara kita yang tertipu dengan keutamaan ilmu dan ahlinya, sampai-sampai kita meninggalkan ibadah dan sibuk dengan belajar. Ini juga merupakan tipu daya setan. Menuntut ilmu sambil beribadah bukanlah sesuatu yang tidak mungkin, Imam asy-Syafi‘i bisa membagi waktunya untuk belajar dan ibadah bahkan untuk istirahat. Beliau membagi tiga waktu pada tiap malamnya; sepertiga malam pertama untuk belajar, sepertiga kedua untuk ibadah dan sepertiga ketiga untuk istirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar